![]() |
| Ilustrasi Foto: pixabay.com |
“Koran..koran..koran....”
Suara khas seorang loper koran kala itu terdengar di tengah terik. Selain
dipadati berbagai kendaraan, di sela itu juga para pedangang ramai menjajakan
dagangannya. Tak terkecuali pedangang koran. Pemandangan itu rupanya selalu
menarik perhatian. Tepatnya di sisi jalan kawasan Taman Topi Bogor.
Di era
informasi dan teknologi seperti sekarang ini terkadang membuat miris. Bukan
berarti Koran tak laku lagi. Namun perkembangan itu sebenarnya turut
berpengaruh terhadap minat membaca. Sampai saat ini nyatanya wajah
persuratkabaran masih kita temui.
Seperti
apa yang sempat diprediksikan dulu, media cetak akan mati menjelang tahun dua
ribu dua puluhan. Memang, di sejumlah media luar negeri hal itu sudah terjadi.
Akan tetapi, konvergensi media nyatanya menjadi siasat cerdik untuk bisa
mempertahankan eksistensi sebuah surat kabar harian di tanah air ini.
Sedari
tadi, saya melihat seorang Bapak yang berkeliling di sekitar kafe Taman Topi
Bogor menjajakan koran-korannya. Tampak tak banyak yang membeli. Para
pengunjung di kafe terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Akhirnya, ada
juga seoarang ibu yang membeli tabloid.
Saat
itu saya hendak mencari koran juga. Entah apa yang menghalangi saya, sehingga
harus membeli di tempat lain. Kebetulan saya sedang mencari agen koran di
sekitar tempat itu. Setelah dipastikan, ternyata agen yang dituju sudah tutup.
Atas informasi petugas parkir, saya pun berjalan kembali mencari agen lainnya.
Hingga
sampailah langkah saya pada sebuah ruko bertingkat. Lokasinya masih tak jauh
dari sekitar Taman Topi. Ketika memasuki, terlihat sekilas ruangan seperti
tidak terawat. Berjalan menuju lantai tiga, sepanjang itu saya tak menemui
banyak ruko yang buka. Seperti lama tidak dihuni malah.
Kemudian
saya kembali menuju lantai satu. Ada beberapa ruko yang buka. Kebanyakan tempat
fotokopian dan penjual buku murah. Saya pun tetap menelusurinya tanpa banyak
bertanya lagi. Tak banyak juga pengunjung yang datang ke tempat itu.
Tanpa
harus berjalan lebih lama, agen koran yang saya cari sudah ada tak jauh di
hadapan. “Ya, dek? Ada yang bisa saya bantu?” sapanya kemudian dan mulai
menghentikan aktivitasnya yang sedang menumpuk koran. Kacamatanya ditaruh di
atas kepala. Terlihat pula seorang laki-laki paruh baya lainnya yang sibuk
membantu pekerjaan itu.
Perawakan
yang tidak terlalu besar dan tidak begitu tinggi. Namanya Taufik (45).
Laki-laki usia paruh baya itu terlihat sangat ramah. Perbincangan panjang pun
tanpa sadar lantas terjadi. Kami berkenalan sambil mencairkan suasana.
Sampailah ketertarikan saya akan buku-buku bagus yang tebal. Seperti menumpuk
sudah sekian lama.
Ternyata
selain menjadi agen koran, dulu ia juga berjualan buku. Seperti sudah tak laku,
buku-buku itu pun hanya terpajang memenuhi ruangannya. Ia bercerita tentang
kejayaan koran di masa dulu, era 90-an. Di sela itu, pandangan saya sempat
teralih pada sisi tembok di belakang. Sebuah piagam penghargaan menggantung dan
terbingkai rapi. Piagam itu menunjukan, Taufik pernah mendapat penghargaan
sebagai agen koran terbaik dan terbesar. Piagam itu diberikan oleh Media Kompas.
Saat
ini, agennya memang tak sebesar dulu. Sebagai agen koran, bisa dikatakan Taufik
adalah salah satu yang sukses kala itu. Ketiga anaknya bisa bersekolah dengan
baik. bahkan anak bungsunya bisa sampai lulus sarjana. Itu semua dibiayai dari
hasil penjualan koran.
Tak
harus bertanya lebih banyak, memancing pertanyaan dengan dua hal itu saja sudah
membuat orang di hadapan saya ini sibuk bercerita. Menurutnya, beda dulu dengan
sekarang. Budaya membaca sudah mulai menurun. “Mahasiswa sekarang itu cuma
ambil enaknya saja, maunya cara yang cepat dan enak. Jarang yang mau tahu
prosesnya. Sekarang informarsi apapun kan tinggal googling saja. Boro-boro mau
baca koran,” ungkapnya dengan perasaan miris.
Seperti
apa yang dilihatnya, anak muda sekarang memang lebih sibuk dengan gadget
masing-masing. Terlebih, salah seorang mahasiswa yang sejak dulu berlangganan
koran padanya saja, sekarang sudah mulai behenti. Alasannya sudah tidak lagi
sempat membaca.
Hal
itu pun disesalkannya. “Kemajuan teknologi harusnya bisa membuat lebih bijak
penggunannya. Padahal kalau mau dikata, internet juga lebih banyak
mudharatnya.” Ungkapan yang tidak disangka. Ternyata selain ramah, pembawaannya
juga agak relijius. Kekhawatirannya bukan semata karena takut koran ‘gak laku’
lagi. Melainkan esensi membaca dan sumber pengetahuanlah yang menjadi utama. Ia
juga terlihat begitu peduli, agar budaya bangsa tidak menurun seperti ini.
Taufik ingin kegiatan membaca buku bisa kembali digemari, terutama oleh generasi
muda.
Walau
demikian, Taufik tetap berbaik sangka bahwa rezeki sudah ada yang mengaturnya.
Ia juga optimis, koran akan tetap dibutuhkan sekalipun media online sudah
menjadi saingannya. Sebagai agen koran, Taufik menyiasati hal itu dengan lebih
banyak memasok koran lokal daripada nasional.
“Ya,
karena kalau kita ambil koran nasional kayaknya nilai beritanya sudah
berkurang. Kita sudah bisa lihat di televisi. Kalau peristiwa lokal lebih
menarik dan banyak dicari tentunya oleh masyarakat sekitar,” tuturnya sambil
sesekali kembali merapikan tumpukan koran di rukonya.
Dalam
pengamatan, Taufik tampak sedang sibuk menghitung oplah penjualan hari itu.
Koran yang dicari sudah saya dapatkan. Sedangkan Taufik izin pamit untuk
melanjutkan pekerjaannya lagi. (Kartika)

Komentar
Posting Komentar